Cari Blog Ini

Selasa, 31 Agustus 2010

Notaris Buntario Tigris Saksi Fakta Kasus Mitora - Mitsui

Notaris Buntario Tigris hadir sebagai saksi pada sidang gugatan antara PT Mitora Consulting melawan PT Mitsui Indonesia, terkait sengketa pemberian jasa konsultasi bisnis, di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Senin (30/08).

Sidang dipimpin oleh Ketua Majelis Hakim Jihad Arkanuddin dan didamping hakim anggota masing-masing Heru Susanto dan Marsuddin Nainggolan.

Dalam kesaksian di bawah sumpah, Notaris Buntario Tigris mengakui bahwa pada tanggal 28 Oktober 2008, ia datang ke kantor PT Mitsui Indonesia di Menara BCA Lt. 52 Grand Indonesia atas undangan PT Mitora Consulting dengan agenda penandatangan dokumen Final Settlement Agreement. Pada saat itu, Buntario menegaskan bahwa dirinya berhubungan langsung dengan PT Mitora Consulting bukan dengan Mitora Pte Ltd Singapore, bahkan ia tidak mengenal Mitora Pte Ltd Singapore.

“Saya menyaksikan penandatanganan dan legalisasi dokumen Final Settlement Agreement oleh Mr. Sukagawa Makato selaku Presiden & CEO PT. Mitsui Indonesia, Mr. Wang Chian Pin selaku Presiden Direktur PT Maya Food Industries dan Mr. Sunartio Santoso selaku Direktur PT Indomaya Mas,” katanya.

Buntario menyatakan bahwa dirinya terkejut ketika mengetahui adanya penandatanganan 2 (dua) Agreement yang sama yang dilegalisasi oleh Notaris Grace Supena Sundah SH dan juga oleh pihak – pihak yang sebelumnya sudah pernah menandatangani Agreement yang sama. Padahal belum ada pemberitahuan pembatalan atas Agreement yang sudah dilegalisasi oleh Notaris Buntario.

Menjawab pertanyaan kuasa hukum Mitora Ervin Lubis, berkaitan dengan bukti pembayaran yang diberikan oleh PT Mitsui Indonesia, Buntario membenarkan bahwa ia telah menerima pembayaran atas pekerjaannya dari Mitsui.

Senada dengan Buntario Tigris, Notaris Grace Supena Sundah, dalam pernyataan tertulisnya menyebutkan bahwa dirinya sebelumnya tidak pernah diberitahukan bahwa perjanjian sejenis sudah pernah ditandatangani di hadapan Notaris Buntario Tigris. Jika ia tahu, sudah pasi ia tidak akan mau melegalisir Agreement tersebut.

Pada sidang sebelumnya pengacara senior OC Kaligis bersaksi bahwa dirinya pernah menjadi mediator. “Di akhir perdamaian, saya mendapat ucapan terima kasih dan sukses fee,” kata Kaligis.

Dari keterangan ketiga saksi tersebut, menurut Ervin, PT Mitora Consulting menyampaikan bahwa ternyata sejak semula Mitsui & Co.,Ltd maupun oleh PT Mitsui Indonesia, memang mempunyai intensi yang tidak baik, untuk meniadakan upaya dan kerja keras PT Mitora Consulting di dalam mendamaikan perselisihan antara Mitsui dengan PT INDOMAYA MAS yang tadinya sebagai penggugat dan MITSUI dengan Maya Muncar ,MI, Bali Maya Permai, Maya Food Industries, MAYA, dan MIMA sebagai tergugat.

Mitsui sebagai perusahaan besar telah bersikap arogan dan berusaha mengarahkan kepada tindakan wanprestasi seakan-akan Mitora gagal menyelesaikan sengketa. Padahal semua bukti-bukti berupa dokumen dan saksi-saksi yang ada, menyatakan bahwa Mitora telah berhasil menyelesaikan sengketa tersebut.

Advokat Ervin kembali menegaskan bahwa permasalahan ini berawal ketika meminta Mitora untuk memfasilitasi dan menggelar negosiasi dengan PT. Bali Maya Permai dan PT. Maya Muncar sejak 1 November 2007. Belakangan, Mitsui mengubah kontrak tersebut menjadi Packing License Agreement antara Mitsui & Co.Ltd. dengan PT. Bali Maya Permai dan PT. Maya Muncar.

PT. Mitora Consulting telah memfasilitasi dan menegosiasikan draft awal hingga tercapai perjanjian final. Mitsui & Co.Ltd. menyiapkan Packing License Agreement (PLA) yang kemudian ditandatangani oleh PT Bali Maya dan PT Maya Muncar, sehingga seharusnya perjanjian tersebut kemudian disetujui dan ditandatangani oleh Mitsui & Co Ltd. Namun hal itu tidak dilakukan pihak Mitsui. Begitu pula dengan Exclusive Distributor Agreement yang dibuat untuk menuntaskan sengketa dengan Maya Manufacturing Trading Co dan PT. Indomaya Mas, dimana Mitsui & Co. Ltd. tidak menandatangani perjanjian tersebut tanpa alasan yang sah.

Mitora tidak mendapatkan keuntungan finansial senilai pekerjaan yang telah dilakukan. Maka kami menuntut pembayaran ganti rugi sebesar Rp 18 miliar, ditambah kerugian immateriil Rp 100 miliar.

Sidang berikutnya digelar pada hari Kamis, 16 September 2010 dengan agenda kesimpulan. (Mukmin Ahmadi)